Bacot Milenial


Daeng Barani



Daeng Barani

(IHLASUL AMAL)

Berawal dari kisah memilukan gagal mempersunting, Daeng Barani berlari ke puncak Bulu Saraung, dengan mata yang memerah kumis meruncing ia berlari meninggalkan tanah Ballo Kacci, sembari mengingat kenangan dengan calon istrinya yang silariang  dengan daeng lain. Dilompatinya satu persatu tanaman kecil tinggi berduri dan tidak berduri, Daeng Barani tidak menghiraukan semua yang menjadi penghalangnya.
“Amba ratami saja!“ Dengan sifat pemarahnya ia berteriak melampiaskan kesedihannya di tengah hutan, sambil menghantar surya dan menjemput senja.
Belum sampai di puncak Bulu Saraung, niatnya untuk ke sana sempat hilang karena terhalang oleh kabut hitam yang bukan lain adalah ketakutanya. Daeng Barani ingin pulang ke kampungnya tapi, ia sangat siri dengan warga di sana, bagaikan ballo berbusa terasa pahit. “Apa kata warga jika aku pulang tanpa calon istri lagi,” benaknya. Terpaksa kumisnya kembali meruncing dan matanya pun mulai tidak memerah lagi, di tengah perjalanan ia dihadang oleh sungai yang membentang tidak terlalu luas, untungnya Daeng Barani ahli dalam soal renang- berenang. Di tengah sungai dia bertemu dengan gerombolan bebek yang sedang mengadakan pawai besar-besaran, dinyanyikanlah lagu kebangsaan si bebek, “Kwek kwek kwek kwek!”.
“Sungguh tidak indah suaramu bebek, tallang lalo mko,” ujar Daeng Barani.
Spontan semua gerombolan bebek dipimpin oleh pemandunya mengarahkan pandangan sinis ke arah Daeng Barani, sontak ia merasah makkalaing-laing, kakinya langsung keram menuju ke tanganya, perasaannya mulai tidak enak.
“Teaja tallang teaja tallang teaja tallang,” teriak Daeng Barani yang menghantar air menelan dirinya.
Untungnya Daeng Barani diselamatkan oleh putri dari kerajaan kalomang, dengan rambut yang panjang berwarna putih, bagaikan langit yang membentang ke ufuk  timur, hidung yang terlalu mancung  dengan kulit yang lembut, Bagaikan pinus berkulit pelepah pisang.
Daeng Barani heran bukan main karena makhluk apa lagi yang bisa bernapas di bawah air kecuali ikan dan sanak saudaranya, terlintas di benaknya ia sudah meninggal, Daeng Barani sangat bahagia karena ia sudah meninggal, ia sontak berteriak menggunakan bahasa yang tak terjamah oleh alam, sangking bahagianya. Karena dia berteriak dengan kencangnya Daeng Barani lekas bangun dari pingsanya, ternyata itu hanya mati suri, ia sangat kecewa karena akhirnya ia tidak jadi meninggal, entah mengapa? Terpaksa Daeng Barani melanjutkan perjalananya ke Bulu Saraung.
Setelah berbulan bulan menelusuri Bulu Saraung akhirnya Daeng Barani tak sampai-sampai juga di puncaknya. “Ingin rasanya kucabut Bulu Saraung ini,” gumamnya. Karena kelelahan berjalan ia sontak berlari sekencang mungkin sampai berhenti di puncak Bulu Sorongan, Kabupaten Segeri tepatnya, Daeng Barani sangat kecewa karena ternyata ia salah tujuan, mulutnya terus berceloteh dipandu kumisnya yang sesekali masuk ke dalam mulutnya ketika ia berteriak menuruni Bulu Sorongan.
Daeng Barani berniat untuk kembali ke puncak Bulu Saraung, namun di tengah perjalanan ia mengalami kesulitan, benar kata leluhur dulu, pasti selalu ada cobaan dalam hidup. Daeng Barani mengalami pendarahan pada kakinya karena ia tersandung akar pohon, kaget yang tidak terbendung karena kali pertama ia melihat darah berwarna cokelat bening di kakinya,
”Apa anjo?” Katanya dengan bimbang dan ketakutan.
 Ternyata darah cokelat bening itu adalah getah pohon yang melekat pada kakinya, napas dihembuskan Daeng Barani tanda ia sudah lega karena itu bukan kanker atau malariah atau apapun itu yang bisa membuatnya tidak mendapatkan istri baru.
Daeng Barani berjalan terus menelusuri setapak sempit yang curam, berharap bertemu dengan istri yang cantik dan soleha, bukan istri yang didapatnya malah Belanda yang sibuk menyusun strategi perang, karena alergi melihat Belanda ia mengangkat badik kesayangannya sekaligus warisan dari kakek buyutnya.
“Nai rewa?” Teriaknya sambil mengangkat badik  setengah berkarat dan tumpul kesayangannya.
Terkejut, gerombolan Belanda mengambil senjata dari kantongnya, Daeng Barani mundur satu langkah, nyawanya sempat hampir terserap aurah senjata Belanda, tapi satu urat dalam tubuhnya berontak malu dengan gelar daeng yang dimilikinya, ia maju dua langkah, Belanda langsung menembak ke langit, tanpa berpikir panjang ia berlari maju meninggalkan Belanda dengan kencangnya.
Merasa sudah aman dan meninggalkan Belanda sangat jauh, Daeng Barani bersemedi di bawah pohon ketapang yang cukup besar, ketika sunyi melarutkan semedinya, dua purnama pun berlalu, kumisnya mulai berakar serabut. Hingga saat surya muncul, ia dibangunkan oleh suara yang sangat ribut.
Apanjo sigegeri?“ Ucapnya yang masih terbayang-bayang dengan mimpinya di pelaminan bersama calon istrinya yang silariang.
Karena adanya suara itu, yang membuat Daeng Barani terangsang untuk menjemput suara tersebut, ternyata hasil kerongkongan itu berasal dari suatu kampung yang sedang melakukan ritual besar-besaran, tanda tanya masih memenuhi kepalanya yang sama sekali tidak mengetahui ritual apa yang sedang berlansung. Tidak pikir panjang Daeng Barani ikut massulengka di tengah penduduk. Ia menyaksikan jalanya ritual, beberapa benda seperti pedang pusaka, tombak, dan “Arajang Segeri” yang dikeluarkan dari peraduanya. Adapun beberapa orang paruh baya yang memegang keris dan menancapkannya ke bagian tubuhnya sambil menari, heran mengguncangkan bumi, Daeng Barani masih saja bertanya tanya dalam benaknya. Beberapa menit kemudian hadirlah seorang gadis dari dalam rumah membawah hidangan untuk disantap bersama.
“Kembang kampunggggg……” Ujar beberapa pemuda di sudut rumah dengan mata terbelalak yang menandakan mereka terpesona.
Wedeh… Engkani canrikku,” kata seorang warga di samping tiang rumah tepat di bawah tangga.
Kesan pertama yang didapatkan Daeng Barani di kampung ini bahwa mayoritas penduduk kampung menggunakan bahasa Bugis, sedangkan ia berbahasa Makassar, sempat ia larut dalam hayalanya, dia merasa tersisih entah apa sebabnya. Tapi Daeng Barani tersadar, ketika menghirup aroma hidangan Sop Saudara dengan beberapa makanan penutup seperti dange, cucuru bayao, kulapisi, burangasa, rook-roko unti, dan masih banyak lagi.
 “Heran bukan main, di tengah hutan yang jauh dari bandar bisa ada makanan yang seenak ini,“ spontan Daeng Barani terlontar dari mulutnya.”
Makanmki  daeng halalji ini!”  Kata wanita itu dengan sangat lembut!
“I… I… Iye, kalau boleh kutau siapa namata Andi? Belum sempat dibalas oleh sang gadis ia secepat katingalo menjawab, “kalau saya Daeng Barani,” ujarnya sangat besemangat.
“Oh… Iye namaku Bunga Eja, kita panggilmka Bunga atau Bunga Eja!” Kata Bunga Eja kembali dengan penuh kelembutan.
Ndi’ apakah gerangan nama ini ritual, kenapa ada benda seperti itu, dan siapakah gerangan kakek yang menari ditemani keris itu”? kata Daeng Barani yang sangat penasaran sejak tadi.
“Ohh… iye Daeng, sebenarnya ini acara “Mappalili” namanya, acara tahunan yang kami gelar setiap ingin menabur benih, ritual ini mengandung arti dijauhkanki hal-hal yang tidak diminta-minta, akan mengganggu atau merusak tanaman padi, dan alat itu adalah alat yang akan kami bersihkan karena akan dipakai, adapun itu kakek yang beratraksi biasa dipanggil “Bissu Daeng”, mengertimki?” jelas Bunga Eja kepada Daeng Barani.
“Dehh…. Begitu ternyata, terima kasi’ banyak Bunga atas penjelasanya,” kata Daeng Barani yang semakin kagum dengan Bunga Eja.
            Karena kelembutan Bunga Eja, ia merasa terpikat dengan Bunga Eja yang dari detik ke detik rasa itu mulai dimiliki juga oleh Bunga Eja. Satu persatu syair Bugis Makassar dikeluarkan Daeng Barani untuk memikat hati Bunga Eja,Iyya siya menasakku mattonra jaritokki lete di manipii” Maksudnya: Harapanku ingin hidup semati denganmu, karena syair Daeng Barani laksana buah lemo yang jatuh dari pohon dan menerpa pintu hati Bunga Eja sehingga bisa terbuka untuk Daeng Barani.
            Hari demi hari dijalani Daeng Barani dan Bunga Eja, timbul niat baik dalam relung hati Daeng Barani untuk mempersunting Bunga Eja, namun ia masih takut untuk gagal mempersunting yang kedua kalinya, tapi hasrat itu terus- menerus membludak di hati dan jiwa Daeng Barani, sehingga ia memberanikan diri untuk melanjutkan masa depan dengan Bunga Eja, didatangilah penghulu tinggi di kaki gunung. Dengan penuh kebahagiaan, acara itu berlansung dengan sangat hikmat, dimeriakan oleh para tamu terhormat yang bukan lain adalah para penduduk setempat. Tidak banyak yang iri dan cemburu terhadapnya, kebanyakan hanya ingin mengajak daeng berkumis itu untuk “sikajang laleng lipa” utamanya para pemuda kampung yang dari lahir sudah tergiur dengan kembang merah itu. Walaupun ada yang iri, semua itulah yang menghantar selesainya acara pernikahan Daeng Barani dan Bunga Eja.
            Karena merasa sudah puas dengan pendapatannya, Daeng Barani berniat ingin kembali ke kampung kelahiranya dengan bidadari tercintanya, Bunga Eja. Berbulan-bulan Daeng Barani dan Bunga Eja terus berjalan menuju kampung halaman. Di tengah perjalanan yang belum jauh dari perkampungan, Daeng Barani terkejut lagi dengan suara beberapa orang yang saling sahut-menyahut sambil mengangkat badiknya masing.
“Apakah yang hendak diperbuat mereka Bunga?” Ujar Daeng Barani kepada istrinya.
“Janganmki heran Daeng peristiwa itu sering terjadi, merekalah orang orang yang saling mempertahankan siri’ nya masing masing, mereka akan Sigere’–gere’ di tempat itu Daeng oleh karena itu kampung ini dinamakan “Segeri” seringmi terjadi yang seperti itu Daeng!” kata Bunga Eja sembari menjelaskan kepada Daeng Barani.
“Oh… begitu paeng Bunga akhirnya kutaumi,” ujarnya lagi  sambil mengusap kumisnya ke samping dan menggandeng tangan Bunga Eja menjauh dari tempat itu, ditemani darah yang sedikit demi sedikit bertumpahan di belakangnya.
            Karena perjalanan yang sangat jauh, tidak terasa Bunga Eja sudah berbadan dua, senang bukan main dirasakan Daeng Barani karena sudah berhasil memproduksi suatu produk kebanggan bagi mereka berdua, tiba di perkampungan asing bagi mereka berdua, Daeng Barani dan Bunga Eja membangun gubuk sederhana terdiri dari 30 tiang yang tertancap, dego-dego di bagian luar, tiga Paddaserang di bagian tengah dan Sonrong di bagian belakang. Gubuk sederhana itu untuk sementara waktu dipakai membesarkan anaknya.
            Bukan Daeng Barani namanya kalau tidak berani mengambil langkah ke depan walaupun dengan rintangan yang sangat berat, sungguh mulia pengorbanan lelaki berkumis itu kepada keluarganya, satu persatu lahan digarapnya untuk pertanian, perkebunan, dan tambak. Setiap hari ia pergi ke lahan bersama cangkul dan saraung kesayanganya, bukan Bunga Eja namanya kalau tidak menaruh simpati kepada suaminya, setiap siang hari Bunga Eja menyusul suaminya ke ladang ditemani surya yang membakar kulit lembutnya. Tapi setiba di ladang semua panas itu hilang karena senyum suaminya yang menyambut dari kejauhan.
            Di sisi lain, Jeritan tangis terdengar dari dalam gubuk setiap harinya oleh anak Daeng Barani dan Bunga Eja, tanpa sepengetahuan mereka berdua, hanya didengar oleh orang yang berlalu lalang, sepulang dari ladang, papan rumah berkikuk diinjak kaki yang masih penuh lumpur ladang, hanya suara itu yang terdengar, entah mengapa jerit tangis si bayi tak lagi terdengar.
             Satu tahun berlalu, anaknya sudah membesar, tapi namanya masih jadi perdebatan, banyak yang pindah dan menetap di sekitar rumah Daeng Barani dan menjadi keluarga besar di dalam kampung itu, nama kampung itu juga masih jadi perdebatan di kalangan pemimpin rumah tangga, aspirasi para istrinya disampaikan di depan balai desa, tapi belum ada kata mufakat sepanjang ini.
            “Mending keladangma ini kalau begini, Lemoku menungguku Boluku menantiku!” Kata Sangkala tetangga Daeng Barani yang sudah kesal dari tadi.
            Sahut-sahut mulai terdengar dari beberapa warga yang sudah hengkang dari bangku, diikuti penduduk lainnya yang menyebabkan tak ada lagi orang yang tersisa di balai desa. Mendengar langkah kaki di depan gubuknya ia keluar ditemani kopi pahitnya dan bertanya kepada sangkala.
            “Ooo… cikali bagaimana keputusanga?” Sahut Daeng Barani.
            “Keputusanna ayomi ke ladang sekarang!” Balas Sangkala yang hanya menatap ke depan.
            “Tidak ke ladanga, darima tadi waktu pergiki semua ke balai!” Balasnya sambil menghirup kopi pahit buatan istrinya.
            Sunyi yang mencekam di depan gubuk Daeng Barani terpecahkan seketika saat perlahan suara tangisan anak-anak menggemparkan kampung, dan mungkin hanya keluarga Daeng Barani yang tidak ke ladang hari itu, heran bukan main ia keluar dari gubuknya dan berjalan mengamati kampung yang terasa seperti bandar sangkin ributnya.
            “Apa seng ini yang terjadi dengan kampung. Amma’rang semuai Ana’ loloa, apa kira kira penyebabnya?” Ujar daeng Barani dengan logat kental keseharianya.
            “Assalamu alaikum!” Ucap gadis belia di belakang Daeng Barani
            “Waalaikum Salam!” Balas Daeng Barani kaget dan menoleh ke belakang.
            “Daeng kenapai itu Andrikku semenjak Ambboku dengan Indokku pergi ke ladang ia menagis tiada henti daeng,” kata gadis belia itu sangat panik.      
            “Hah…. Kenapa bisa seperti itu?” Balas Daeng Barani menuju rumah anak belia tersebut, ditemani rasa heran.
            Sepanjang jalan diwarnai dengan isak tangis para anak-anak yang semakin lama semakin menjadi, pusing tujuh keliling membuat ia memutuskan untuk menyuruh gadis belia itu ke ladang memanggil semua orang tua untuk kembali melihat keadaan para anaknya.
            Tegani tegani tegani?”  Teriak seorang ibu, Sitti Rannu tepatnya, dengan tergopoh gopoh masuk ke dalam rumahnya.
            Heran Daeng Barani bukan main, ketika orang tua bayi dari jauh sudah nampak, anak di depannya perlahan lahan berhenti menangis, sekarang ia mengerti dengan semua ini.
            “Jadi begini Saribbattang  ini anakta tidak bisapi ditinggalkan, karena caddi caddi inji kodong kalau ke ladang ki dengan suamita, anakta tidak akan berhentimi Amma’rang  di rumah,” jelas Daeng Barani.
             “Sepertinya bagus kalau berkumpulki lagi besok di balai, bagaimana?” Ucap Daeng Barani.
            “Yah… bagaimana dengan ladang?” Keluh Sitti yang tidak bisa meninggalkan ladangnya.”
            “Satu hariji Saribbattang bagaimana?” Ujar Daeng Barani meyakinkan.
            “Setujuma paeng, jadi pergima umumkanki di.” Kata Sitti Rannu  mengusulkan idenya.
            Ayam berkokok tanda surya sudah menuju ke Barat, semua warga kampung keluar untuk membersihkan halaman rumahnya masing masing,  setelah itu mereka berbondong-bondong ke sungai untuk mandi dan mencuci.
            “Herangku saya liatki anakku kemarin Amma’rang  teruski bedeng na bilang Daeng Barani,” ujar Sitti sembari mengucek cuciannya dari ladang kemarin.
            “Sering mi katanya begitu anak-anak setiap ditinggalkan ke ladang, untungna saya tidak ada ji anakku,” kata seseorang ibu di belakang Sitti sembari cengengesan.
            “Tidak ada paeng anakta Singara?, aishhh… kenapa bisa begitu tanyaki bapaknya! ” Kata Sitti yang mengejek Singara.
            “Tuami bapaknya Sitti, pesimisma sepertinya,” timpa Singara ikut bercanda.
            Matahari semakin terik sungai kembali dirundung sunyi tidak ada lagi suara anak-anak yang loncat ke sungai, tidak ada lagi suara ibu-ibu dengan kewajibanya yaitu mencuci dan bergosip, semua langkah tertujuh ke balai desa untuk merapatkan sesuatu.
            “Assalamu alaikum Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu,” kata Daeng Sikki sebagai orang yang lebih dituakan sekaligus memimpin jalanya musyawarah.
            Musyawarah berjalan lancar dengan topik hangat yaitu pemberian nama untuk kampung itu yang sudah lama menjadi perdebatan sesaat para penduduk desa, siang sudah hampir kembali ke singgasananya bertukaran dengan malam yang dingin, dan akhirnya disepakatilah nama kampung tersebut diambil dari peristiwa aneh, yaitu saat semua penghuni rumah berangkat ke ladang, dan terjadilah peristiwa itu “Amma’rang” seiring dengan waktu kampung itu hanya di sebut “Ma’rang”, kampung yang kaya akan buah lemo segar dengan berbagai spesies dan tidak lupa rasanya yang sudah pasti sangat manis.
            Dua tahun berlalu saat anak Daeng Barani sudah duduk di atas kerbau yang berputar mengelilingi kampung untuk mencari makan, tapi sayang dia masih belum diberikan nama oleh orang tuanya, dia hanya di panggil “Baco” oleh orang sekitar dan apabilah ada anak perempuan yang memiliki kasus yang sama maka ia akan dipanggil “Be’cce”.
            Tahun terus berlalu, tampaknya ia ingin menjalangkan program kerjanya kembali dengan menambah momongan, dan program kerja itu ternyata sudah berjalan dengan sangat mulus, melalui puncak klimax dan akhirnya, ada satu yang menjanggal pada Bunga Eja, perutnya sakit bukan main karena si kecil mulai keluar dari perutnya. Sebenarnya Bunga Eja sudah dilarang oleh suaminya untuk membawa rantang ke ladang, tapi ia tetap saja ingin melakukannya, akhirnya Bunga Eja berojol tepat digerbang masuk kampungnya selepas mengantarkan rantang dari ladang. Kaget melihat anaknya terjatuh ke bawah tanah, reflex Bunga Eja langsung memungut anaknya dan membawanya ke surau terdekat di kampung. Dengan penuh kasi sayang dia membersihkan anaknya, lalu dibawahlah pulang anaknya dengan isak amma’rang yang menemani perjalanan Bunga Eja kembali ke gubuknya.
            Setibanya di gubuk, Bunga Eja masih saja mencoba menenangkan anaknya, sesampainya Daeng Barani di rumah dan ia sangat terkejut melihat Bunga Eja dengan perut yang sudah kempes sembari menggendong anak bayi yang lucu, ditemani oleh Baco yang dari tadi terus saja ingin mencium adiknya itu. Daeng Barani dengan cepat mendekati keluarga kecilnya itu, dan suasana rumah kembali menjadi hening dengan kebahagiaan. Perlahan tetes demi tetes air matanya bercucuran yang disaring oleh kumisnya yang mulai memutih. Daeng Barani dan Bunga Eja hidup dengan bahagia tanpa adanya kekerasan begitupula dengan anaknya yang semakin hari semakin besar, mereka saling mengerti mempercayai dan tidak ada rahasia diantara mereka sehingga keluarganya menjadi awet, karena suatu hubungan bisa bertahan dengan adanya rasa saling percaya dan kasi sayang antara  dua insan. Anak dari Bunga Eja dan Daeng Barani bernama gerbang kampung yang biasa dipanggil Gempung dengan sifat yang tidak jauh beda dengan ayah ibunya.

**TAMAT**
Sumber
·         Bapak Muhammad Yamin = Guru bahasa Inggris (Pangkep English Culture)
Catatan :
Ø  Daeng Barani = orang yang berani
Ø  Bulu Saraung = salah satu gunung di Sulawesi selatan yang berbentuk   seperti topi petani.
Ø  Ballo Kacci = minuman keras yang terbuat dari tanaman tala’(jenis tanaman di Sulawesi).
Ø  “Amba ratami saja!” = “ Hantam saja.”
Ø  Siri’= malu.
Ø  “Tallang Lalo Mko!”= “semoga kamu tenggelam.”
Ø  Makkalaing-laing = merasa tidak enak.
Ø  “Teaja tallang”  = “Saya tidak mau tenggelam”
Ø  Kalomang = semacam spesies siput
Ø  “Apa anjo?”= “Apa itu”.
Ø  “Nai rewa?” = “Siapa yang berani?”.
Ø  “Apanjo sigegeri?” = “Apa itu yang ribut?”
Ø  Massulengka = duduk bersila
Ø  Arajang segeri = benda yang akan digunakan dalam acara mappalili dan sangat sakral
Ø  Wedeh…. Engkani canrikku” = “Wah…. Adami kekasiku”
Ø  Sop saudara, dange, cucuru bayao, kulapisi, burangasa, roko-roko unti. = makanan khas Kab. Pangkep.
Ø  Andi’/ Ndi’ = nama panggilan untuk adik dalam bahasa Makassar.
Ø  Katingalo = lalat
Ø  Mappalili = acara tahunan yang digelar setiap ingin menabur benih, ritual ini mengandung arti agar dijauhkan dari  hal-hal yang buruk, akan mengganggu atau merusak tanaman padi
Ø  Bissu Daeng = kaum pendeta yang tidak mempunyai golongan gender dalam kepercayaan tradisional Tolotang, atau sebagai "memiliki peran ritual", di mana mereka "menjadi perantara antara manusia dan dewa"
Ø  Sikajang lalang lipa = berkelahi di dalam sarung.
Ø  Dego-dego, paddaserang, sonrong = bagian bagian rumah seperti teras, ruang tamu, ruang keluarga, ruang dapur.
Ø  Saraung = topi petani.
Ø  Lemo = jeruk Bali.
Ø  Bolu = ikan bandeng.
Ø  Cikali = sepupu satu kali.
Ø  Amma’rang = berteriak.
Ø  Ana’loloa =  anak bayi.
Ø  Andrikku = nama panggilan adik dalam bahasa Bugis
Ø  Ambboku,Inddoku = ayah dan ibu dalam bahasa Bugis.
Ø  Tegani? = Di mana?
Ø  Saribbattang = saudara.
Ø  Caddi caddi inji kodong =  masih sangat kecil  kasihan.
Ø   Baco = nama panggilan kepada anak laki-laki yang belum memiliki nama
Ø  Be’cce = nama panggilan kepada anak perempuan yang belum memiliki nama

Post a Comment

0 Comments