Bacot Milenial


Malino Anti Wacana


  

            Libur sudah di depan mata, apalagi yang ditunggu si milenial untuk menghabiskan waktunya, melampiaskan semua keluh kesahnya, dan bersenang-senang bersama keluarga dan kerabat dekat. Aku yang dulunya ketika masih menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas, tepatnya kelas dua, aku sangat hoby untuk berkeliling tempat wisata di daerahku, sampai-sampai temanku banyak yang menjulukiku “Pajokka Kondang” artinya orang yang terkenal karena hobynya berpetualang. Berbeda suasana dengan saat ini, ketika aku melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, rasanya sangat berbeda, mata ini setiap hari dimanjakan oleh praktek, laporan, praktek, laporan. Dari semester satu sampai sekarang memasuki semester tiga hanya itu yang bersiklus.

            Mencoba untuk menyegarkan pikiran dengan mengajak semua teman kelasku untuk berlibur di malino, siapa yang tidak kenal dengan malino, bahkan diantara kami mungkin sudah banyak yang pernah berkunjung ke sana tetapi dengan orang yang berbeda.

           Respon dari temanku baik, semuanya setuju, mungkin karena nasib kami semua kurang piknik, makanya banyak yang mengiyakan ajakan ini. Satu minggu sebelum keberangkatan harap-harap cemas menyelimutiku takutnya rencana ini hanya wacana, kembali kuingatkan temanku melalui group WhatsApp kelasku untuk menyiapkan perlengkapannya, semuanya hanya tertawa dan mengatakan bahwa aku terlalu bersemangat, sambil membacanya aku hanya tersenyum menertawai diriku sendiri.

            Kuberitahukan lagi untuk mengurus tenda, hammock, kompor portable dan sleeping bag, tapi tak satupun yang merespon. Aku langsung saja membuat list nama yang bertanggung jawab tentang peralatan itu, responya ? “Ok”.

            Sehari sebelum keberangkatan kuingatkan kembali untuk menyiapkan barang bawaan beserta alat-alat yang ingin di bawa, liburan kali ini sangat berbeda menurutku, yang biasanya aku hanya pergi bersama teman-temanku tapi tidak menginap, kali ini betul-betul menjadi perjalanan yang berbeda.

            Minggu pagi titik kumpul disepakati disalah satu kos teman kami, hari minggu menurutku pilihan yang tepat karena banyak pengunjung yang sudah pulang dikarenakan besoknya hari senin, sehingga suasana akan sunyi dan lebih tentram.

            Semuanya telah berkumpul, kami berjumlah 14 orang, semua motor diisi oleh dua kepala. Perjalanan ini akhirnya dimulai, aku sangat senang karena rencana ini tidak menjadi suatu wacana. Perjalanan yang kami tempuh cukup jauh, kami mulai di Jalan Sunu berbelok ke Jalan A. Pettarani kemudian masuk ke Jalan Hertasning, lurus terus sampai melalui Kampus UIN Samata Gowa yang tembus di Jalan Poros Malino.

             Jalanan mulai menanjak ada juga penurunan, cuacanya seperti mendung tapi tidak akan hujan karena saat ini musim kemarau, dingin sudah sangat terasa. Kami sampai di tempat tujuan, memarkir motor dan berjalan kurang lebih 60 meter hingga sampai di tempat berkemah. Nama tempat ini adalah “Lembanna”.

            Kami tiba sekitar jam 1 lewat, kami bergegas untuk membangun tenda yang berjumlah 3 buah, memasang 6 buah hammock, ada juga yang memasak mie instan, setelah semuanya beres aku menyempatkan diri untuk shalat duhur terlebih dahulu, kami berjalan keluar perkemahan untuk mencari masjid, tapi tidak ketemu juga, sampai akhirnya aku bertanya kepada warga dan ternyata di lokasi kami berkemah ada masjid hanya saja tidak nampak kalau itu masjid. Kami pun kembali dan menjumpai sebuah gubuk yang tak layak disebut sebagai masjid, kupersilahkan temanku terlebih dahulu untuk mengambil air wudhu, mereka mengatakn kalau airnya sangat dingin, aku tidak heran sama sekali, cuacanya saja dingin apalagi airnya. Kami bergegas untuk shalat duhur dan menunggu waktu ashar.

            Jeleknya sore itu, dua dari kami harus pulang karena tidak diisinkan oleh orang tuanya untuk menginap, parahnya lagi dua temanku ini laki-laki, otomatis kami yang semula berjumlah tujuh orang lelaki sekarang tersisa lima, banyak upaya yang kami lakukan agar mereka tidak pulang, seperti menelpon orang tuanya, tapi memang orang tuanya bersikeras tidak mengijinkan anaknya untuk bermalam.


            Malam sudah mulai menamppakkan dirinya, dugaanku akan sunyi sekali, karena kemanapun kami memandang hanya ada dua tenda yang berdiri itu pun jauh dari lokasi kami, bisa dikatakan hanya kami yang mendirikan tenda lebih jauh ke dalam hutan pinus.

           
Dingin semakin menunjukkan keberadaanya, gelap juga semakin menggulita, angin pun tidak mau kalah berhembus kencang kadang juga sepoi-sepoi, aku menguatkan langkah untuk mengambil air wudhu, dinginnya semakin menjadi-jadi, ditambah lagi angin yang menyentuh kulitku, badanku rasanya kaku, dengan kondisi badan mengigil aku masuk ke masjid untuk shalat Maghrib sekaligus ku jamak dengan shalat Isya.

            Malam semakin larut, tawa dan canda kami lepaskan bersama, ada yang duduk di dekat api unggun, ada yang tidur di atas hammock. Di bawah pohon pinus kami bercerita betapa bangganya kami karena perjalanan ini tidak menjadi wacana, kami bernyanyi bercerita lepas layaknya sebuah keluarga. Api unggun mulai meredup, semua handphone lowbat, untung saja ada yang menyewakan jasa charger handphone sampai seratus persen dengan biaya lima ribu rupiah, masih sangat tergolong murah, kami juga membeli bakwan untuk disantap bersama.

            Karena suasana yang sangat gelap aku memutuskan untuk berkeliling hutan bersama satu temanku untuk mencari kayu bakar, kami berjalan jauh sampai tenda kami tak terlihat, tapi kami hanya menemukan sebuah ranting, dengan tenda yang berdiri berwarna putih tanpa api unggun, aku dan temanku sangat kaget dan berbalik arah, dari tadi kami berputar-putar mencari kayu bakar dan tenda itu tidak ada.

            Mungkin sekitar tiga puluh menit kami berjalan kebingungan dan akhirnya sampai ke tenda, kami sempat tersesat tapi kami tidak ingin menceritakan perstiwa ini keteman karena aku khawatir mereka akan ketakutan dan suasana tak segembira tadi, api unggun sudah menyala, kami berlomba untuk mendekat saking dinginya malam itu.

Jam menunjukkan pukul sembilan pas, aku sudah memakai sleeping bag dan bersiap tidur di atas hammock, awalnya semua ingin tidur di atas hammock tapi niatnya terhempas oleh dinginya malam, hingga menyisahkan hanya aku berdua dengan salah satu temanku.

            Tidak ada perbincangan yang terjadi malam itu, aku fokus menatap langit di atasku, pohon pinus yang melambai lambai dibawah sinar rembulan sangat memanjakan mata ini, terkadang juga pikiranku lari ke peristiwa tadi, takutnya tiba-tiba ada orang yang menghampiri tenda kami.

            Sekarang pukul satu pas, aku sudah tidak tahan lagi dengan dingin yangsemakin merajalela, hingga kuputuskan untuk masuk ke dalam tenda meninggalkan temanku sendiri, tidak heran kenapa dia sangat tahan dengan dingin, katanya cuaca di kampungnya tidak jauh berbeda dengan di malino.

         Tidurku terbangun, kantong kresek kami diluar tenda berbunyi, ada juga yang berjalan di samping tenda kami, aku sontak keluar tenda begitupun dengan semua temanku, aku menghawatirkan temanku yang tidur di luar sendiri. Ternyata satu ekor sapi yang memakan mie instan kami, kami mencoba mengambilnya tetapi sapi itu terus mengikuti sampai akhirnya temanku memukul kepalanya dengan kencang hingga ia berbalik arah. Langsung kulihat keadaan temanku yang sendiri, ternyata dari tadi dia menertawai kami.

            Ditemani dinginnya malam kami berangkat untuk mengambil handphone kami yang telah full sekaligus membeli susu panas dan gorengan. Susu yang telah kami beli, yang katanya panas ternyata bisa dihabiskan sekali teguk, panasnya tidak berasa dikalahkan dingin yang mungkin 11 derajat celcius.

        
        Kami kembali ke tenda bersama terbitnya matahari, tidak lupa untuk berfoto, dan segala macam. Kami juga melakukan senam bersama selama beberapa menit kemudian bergegas untuk melipat tenda dan hammock karena kami masih ingin melanjutkan perjalanana menujuh air terjun.


          



 
Setelah semuanya rapi, kami melakukan foto bersama sebanyak-banyaknya hingga bosan, kemudian kami bergegas untuk menuju air terjun, kami menitip barang bawaan kami di salah satu tumah warga dan secepatnya berangkat, sayangnya ketika berangkat kami tidak bersamaan.
           
          Perjalanan cukup jauh hingga akhirnya sampai di air tejun, suasanannya tidak kalah dingin, tanpa pikir panjang aku langsung turun ke dalam air dan ternyata dingin sekali, kemudian dengan langkah yang tertatih karena kedinginan aku menuju tempat jatuhnya air terjun untuk berfototo, karena langkahku yang menggigil, menyebabkan kakiku tergelincir diantara bebatuan, dengan sigap langsung kuangkat kakiku ke salah satu batu runcing dan tepat menusuk kaki bagian belakangku, rasanya sangat sakit tapi aku tetap ke sana untuk berfoto.




        
    Sakitnya baru sangat terasa ketika aku hendak duduk di salah satu batu, ia memerah dan ketika disentuh sangat sakit, untungnya kakiku tidak bocor. Salah satu temanku berteriak bahwa kami tidak lengkap sudah berapa menit kami disini dan temanku yang terpisah belum kunjung ditemukan, sontak aku kaget dan menyadari ternyata betul tiga orang dari kami belum sampai juga, karena perjalanan ke air terjun memang sulit dan memasuki hutan.
       
     Aku bergegas kembali menyusuri jalanan, temanku ada yang berjalan ke lain arah, int
inya kami berpencar dengan suasana sangat panik, aku yang memutuskan untuk berjalan pulang takutnya mereka kelelahan dan beristirahat. Dugaanku benar, aku menjumpai mereka bertiga duduk beristirahat, katanya ia telah jauh masuk tapi tak ketemu juga, selang beberapa menit kami semua temanku tiba dan kami memutuskan untuk pulang.
  
  Dalam perjalanan pulang kami tidak lupa untuk singgah di hutan pinus, karena lokasi kami berkemah lebih jauh lagi daripada hutan pinus, kami singgah untuk makan, menu yang disajikan cukup beragam dengan harga yang hampir di atas 20 ribu semua, sambil menunggu makanan di masak, aku menyempatkan diri untuk masuk kedalam hutan pinus dengan membayar 5 ribu rupiah saja, tapi jika ingin menunggangi kuda harus membayar 20 ribu rupiah, belum lagi jika ingin masuk ke dalam tempat untuk berfoto harus membayar 10 ribu rupiah.


        Setelah puas kami kembali untuk menghabiskan makanan dan lanjut untuk pulang, diperjalanan pulang kami singgah untuk berfoto di tebing dengan pemandangan yang indah di belakangnya, sebelumnya kami harus membayar 5 ribu rupiah untuk dapat masuk berfoto sepuasnya.


          Perjalanan pulang berlanjut, kami singgah di pasar sentral malino untuk membeli oleh-oleh dan sayur, rasanya tidak komplit jika berkunjung ke malino tetapi tidak membeli tenteng khas malino, harganya lumayan murah hanya dengan 10 ribu rupiah kalian akan mendapat 13 biji tenteng, penjualnya juga sangat baik, kalian dipersilahkan untuk mencoba sekalipun kalian tidak membeli.

        Setelah berbelanja banyak kami akhirnya melanjutkan perjalanan dan pulang ke kos masing-masing. Liburan kali ini sangat berkesan di hati kami masing-masing banyak hal yang kami lakukan bersama, dan tidak akan pernah kami lupakan.

-TAMAT-

            

           

Post a Comment

0 Comments